Wednesday, March 1, 2017

Dukamu Dukaku

Hanya Ilustrasi
" Haaruuna Akhii (QS 20 : 30) "

Amunisi apa yang pertama kali diminta Musa saat diberi tugas maha berat mendakwahi ayah angkatnya sendiri yang durjana level 4 ?

Satu set alusista ? Modal bermilyar ? Satu peleton pa sukan invanteri ? Satu korps kavaleri ?

Tongkat mukjizat ? Tidak, tongkat itu Allah yang beri tanpa Musa minta.
Tetapi, Musa minta Harun agar membersamainya. Sebab Musa tahu bahwa jalan didepan akan penuh liku tanjak.

Apakah mereka selalu rukun canda tawa ? Tidak juga. Bahkan pernah Musa saking kesalnya ia pada Harun, hampir meninjunya. Saat ia titipkan kaum israil pada Harun, Harun gagal laksanakan tugas. (QS 20 : 92 - 94)


. . . . .

Kita, tidak ada yang sekuat Musa. Tetapi Firaun presiden dzalim, Korun kapitalis serakah, Hamman pejabat busuk, dan Samiri kyai ilmuan sesat sekarang telah terkloning sedemikian jumlahnya. Maka kita lebih butuh bersama dibanding butuhnya Musa pada Harun.
Itulah ukhuwah. Kebersamaan
Dan hari ini kita memaknai ukhuwah sebatas makan-makan bersama canda dan tawa. Atau sebatas ucapan "barakallah" disaat ada rekan yang milad, wisuda atau menggenap.
Sedang Harun, ia membersamai Musa bahkan saat keadaan begitu mencekam: didepan laut, dibelakang pasukan Firaun siap menjagal. Bahkan saat Musa marah sekalipun. Mereka tetap bersama perjuangkan kebenaran.
Harun mengajarkan kita bahwa ukhuwah adalah bersama dalam cahaya apapun kondisinya. Bukan hanya sama-sama gembira dalam canda tawa.

- Ust. Jumadil Muhammad

***

Memang di zaman konsumerisme sekarang, setiap orang hanya berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan pribadinya dan keluarganya. Tak lagi peduli pada saudaranya yang lain. Sangat gampang dijumpai sahabat atau teman yang membersamai kita dalam suka dan canda tawa. Tapi, apakah membersamai kita disaat duka ? Membersamai dalam artian ikut merasakan kedukaan kita, merasakan pahitnya musibah dan cobaan hidup kita. Bukan hanya simpati tapi ikut berempati.

Susah. Bahkan nabi ayyub ikut merasakan kepedihan dalam kesendiriannya menghadapi cobaan hidup. Menderita penyakit yang membuat ia terkucilkan dari pergaulan sosial. Kehabisan harta untuk mengobati penyakit yang di deritanya. Lalu istri nya pun merasa tak lagi sanggup membersamai duka suaminya. Tak lagi sanggup merasakan "kehinaan" yang diderita suaminya. Yang ia tahu suaminya tak bisa lagi mencari nafkah. Yang ia tahu, suaminya tak lagi punya harta. Yang ia tahu, suaminya tak lagi mulia, hina karena penyakitnya. Dan ia pun tak lagi sanggup ikut menanggung beban "kehinaan" itu bersama suami nya.

Itu adalah cerminan salah seorang istri nabi. Istri yang seharusnya menjadi teman hidup disaat suka maupun duka. Istri yang menguatkan saat suaminya lemah. Istri yang membantu suami untuk bangkit saat ia terjatuh. Seperti istri Rasulullah saw, Khadijah radhiyallahu 'anha.

Baginya (Rasulullah saw), istrinya adalah segala-galanya. Istri yang menguatkannya saat ia merasa tak sanggup memikul beban. Menenangkannya saat jiwanya terguncang menerima surat cinta dari tuhannya. Istri yang mengorbankan segalanya, harta dan jiwa, walau sampai akhir hayatnya tak sempat melihat kesuksesan sang pujaan hati. Ya, istri yang bagi Rasulullah saw tak bisa tergantikan oleh wanita manapun selainnya.

Ada pula segolongan sahabat yang membersamai Rasulullah saw hingga ikut "terhinakan" dan "terkucilkan" dari komunitasnya. Dihina, diboikot, disiksa, dan dianggap sebagai golongan pemecah belah masyarakat. Dan merekapun tetap membersamai Rasulullah saw. Padahal dulunya mereka lah kaum terpandang. Keturunan bangsawan. Pemuda gagah nan rupawan. Tapi, tak mengapa jika membersamai sahabat adalah pilihan kebahagiaan.

Lalu, bagaimana kita ? Tak mungkinkah kita mendapati sosok seperti itu ? Mintalah pada sang penguasa hati manusia. Semoga diberi teman yang membersamai kita dalam suka dan duka hingga jasad tak lagi bernyawa.

No comments:

Post a Comment

About Us

Recent

Random